Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah menggalakkan program digitalisasi sertifikat tanah sebagai bagian dari modernisasi sistem pertanahan. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi, mengurangi birokrasi, serta meningkatkan keamanan kepemilikan tanah. Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kritik, terutama terkait dengan dugaan adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh mafia tanah serta dampaknya terhadap masyarakat, terutama warga yang pernah mengalami penggusuran.
Data Warga yang Tergusur dan Keterkaitannya dengan Sertifikat Tanah Elektronik

Kasus penggusuran tanah di berbagai daerah menjadi cerminan bahwa kepemilikan tanah di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Beberapa contoh kasus penggusuran yang telah terjadi antara lain:
- Jakarta (2006): Laporan Human Rights Watch mencatat penggusuran paksa di Jakarta yang menyebabkan banyak warga kehilangan tempat tinggal dan jatuh miskin.
- Jakarta (2018): Laporan LBH Jakarta mencatat penggusuran paksa di wilayah DKI Jakarta selama periode Januari hingga September 2018, dengan alasan pembangunan dan revitalisasi kawasan.
- Rawamangun, Jakarta (2025): Warga RW 02 Kelurahan Rawamangun menghadapi ancaman penggusuran oleh kelompok tertentu, menyebabkan ketidakpastian terhadap kepemilikan tanah mereka.
- Dekat Proyek Geotermal Gunung Salak (2025): Warga di dekat proyek ini mengalami kesulitan mempertahankan hak mereka atas tanah, di tengah perubahan regulasi pertanahan.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa sertifikat kepemilikan tanah sering kali menjadi titik krusial dalam konflik lahan. Dengan peralihan ke sertifikat elektronik, muncul kekhawatiran bahwa masyarakat yang telah mengalami penggusuran atau yang memiliki tanah dalam status sengketa akan semakin sulit mempertahankan hak mereka.
Kekurangan terhadap Sertifikat Tanah Elektronik
- Hak Kepemilikan Fisik yang Terancam
Salah satu kritik utama datang dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menegaskan bahwa masyarakat berhak menyimpan sertifikat tanah fisik mereka. Mereka menilai bahwa sertifikat digital seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti dokumen fisik. Tanpa sertifikat fisik, masyarakat lebih bergantung pada sistem digital yang masih memiliki risiko teknis dan hukum.
- Kurangnya Kesiapan Infrastruktur dan Sosialisasi
Proses digitalisasi memerlukan kesiapan infrastruktur yang memadai, termasuk akses internet yang stabil serta pemahaman masyarakat mengenai sistem baru ini. Namun, laporan dari berbagai daerah menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan sosialisasi yang cukup mengenai cara kerja sertifikat digital. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan dan mempersulit masyarakat dalam mengurus kepemilikan tanah mereka, terutama bagi mereka yang pernah mengalami penggusuran dan harus mengajukan klaim kembali atas tanahnya.
- Kerentanan terhadap Serangan Siber
Sertifikat tanah dalam bentuk digital tentunya memiliki risiko terhadap serangan siber. Peretasan terhadap data pertanahan bisa menyebabkan perubahan kepemilikan secara ilegal atau bahkan menghilangkan data kepemilikan asli. Tanpa sistem keamanan yang kuat, program ini justru bisa menimbulkan masalah baru bagi pemilik tanah.
Dugaan Keterlibatan Mafia Tanah

Mafia tanah telah lama menjadi masalah sistemik di Indonesia. Mereka kerap menggunakan berbagai modus untuk merebut tanah milik masyarakat dengan memanfaatkan celah dalam sistem administrasi pertanahan. Dengan adanya digitalisasi sertifikat tanah, ada kekhawatiran bahwa mafia tanah akan menemukan cara baru untuk melakukan aksinya, termasuk dengan cara berikut:
- Manipulasi Data Digital Mafia tanah dapat bekerja sama dengan oknum di lembaga terkait untuk memalsukan data sertifikat digital, mengubah kepemilikan tanah tanpa sepengetahuan pemilik asli.
- Peretasan Sistem Jika sistem digital tidak memiliki keamanan yang ketat, kemungkinan peretasan bisa terjadi, memungkinkan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengubah atau menghapus data sertifikat tanah.
- Minimnya Pemahaman Masyarakat Kurangnya edukasi tentang sertifikat digital dapat dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk menipu pemilik tanah yang tidak memahami mekanisme baru ini. Mereka bisa menggunakan dokumen palsu atau menawarkan jasa pengurusan sertifikat dengan motif penipuan.
Kasus penggusuran yang telah terjadi menunjukkan bahwa banyak warga kehilangan hak kepemilikan tanah mereka karena lemahnya administrasi pertanahan dan adanya permainan mafia tanah. Dengan sistem digital, seharusnya ada peningkatan perlindungan bagi masyarakat, bukan justru membuka celah baru bagi mafia tanah untuk menguasai tanah secara ilegal.
Langkah Pencegahan yang Harus Dilakukan
Agar program digitalisasi sertifikat tanah dapat berjalan dengan aman dan efektif, beberapa langkah perlu diperhatikan:
- Penguatan Sistem Keamanan Siber: Pemerintah harus memastikan bahwa sistem digital yang digunakan memiliki perlindungan maksimal terhadap serangan siber dan manipulasi data.
- Sertifikat Elektronik Sebagai Pelengkap, Bukan Pengganti: Masyarakat harus tetap diberikan hak untuk memiliki sertifikat fisik guna menghindari risiko kehilangan kepemilikan akibat gangguan digital.
- Sosialisasi yang Lebih Luas: Pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang masif dan mudah dipahami agar masyarakat tidak mudah tertipu atau kebingungan dalam mengakses sertifikat digital mereka.
- Penindakan Tegas terhadap Mafia Tanah: Penegakan hukum harus diperketat untuk memberantas praktik mafia tanah yang semakin canggih di era digital.
- Jaminan Hukum bagi Warga yang Tergusur: Pemerintah harus memastikan bahwa warga yang telah mengalami penggusuran tetap memiliki akses legal untuk mengajukan klaim atas tanahnya dengan sistem yang transparan dan akuntabel.
Sertifikat tanah digital menawarkan banyak keuntungan dalam hal efisiensi dan keamanan administrasi pertanahan, tetapi juga menyisakan berbagai tantangan dan potensi risiko. Tanpa persiapan yang matang, kebijakan ini justru bisa membuka celah baru bagi mafia tanah untuk melakukan praktik ilegal. Selain itu, warga yang telah mengalami penggusuran juga berisiko semakin kesulitan dalam mempertahankan atau mengklaim kembali hak atas tanahnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam implementasinya dan memastikan bahwa kepentingan masyarakat tetap menjadi prioritas utama.

Cewek generasi Z yang tidak bisa jauh dari gadget. Meskipun introvert, saya suka mengeksplorasi tempat-tempat baru. Saya juga tertarik dengan tren yang sedang berkembang
Discussion about this post